NATIONAL EXAM WILL “BE MAKE” DUCK BECOME HAWK ?

UJIAN NASIONAL AKAN CETAK BEBEK JADI ELANG?

Ujian Nasional (UN) akhir-akhir ini menuai banyak protes, bahkan kasusnya di bawa hingga ke Mahkamah Konstitusi. Rekomendasi dari MK-pun mempertanyakan dampak yang timbul dari UN ini. Salah satu rekomendasi yang saya ingat adalah bahwa pemerintah telah lalai menangani dampak psikologis yang diakibatkan oleh ketidaktercapaian standar minimal yang ditetapkan untuk dinyatakan lulus.
Dalam kasus yang ekstrim misalnya, si Fulan adalan anak yang selalu mendapat ranking di kelasnya mulai kelas 1 hingga kelas 3. Nilai hasil ujiannya 7,25 ;8,00 ;6,75 ; 6,75 ; 8,50 dan 3,00. Ketika ditanya mengapa ada nilai 3,00 dia menjawab entahlah, padahal teman dibelakangnya yang meminta jawaban darinya mendapat nilai 7,33.

Berbeda lagi kasus yang dialami oleh si Badu, dia jago komputer bahkan pernah mendapat peringkat satu tingkat provinsidi bidang olimpiade komputer. Namun ada beberapa mata pelajaran yang memang dia tidak pandai, terutama masalah hafal menghafal. Badu harus menerima nasib berijazah paket C dikarenakan ada nilai merah hasil ujian nasionalnya.

Badu adalah Bebek unggul yang perlu di”tangkar” haruskah dia dipaksa menjadi Elang? Adakah Badu-Badu lain yang terlantar karena UN? Sepertinya pemerintah tetap bersiteguh akan mencetak semua Bebek menjadi Elang.

Dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi swasta, Joseph Landri penulis buku Mimpi Anak Jadi Naga (2007) dan penulis buku Tulang Miskin (2007) mengungkapkan keprihatinnya tarhadap nasib anak-anak Indonesia yang kerap menjadi korban kekecewan atau kegagalan orang tua. Maksudnya, ia kurang lebih ingin mengungkapkan banyak orang tua yang merasa gagal dalam hal tertentu lalu ingin kegagalannya itu ditebus dengan memanfaatkan dan oleh anak-anaknya. Mereka berusaha sekuat tenaga agar anak-anak mereka berhasil sesuai dengan impian mereka, bukan impian anak-anak mereka. Dalam pada itu tidak jarang para orang tua itu melakukannya dengan cara-cara yang agak memaksakan kehendak.

Yang sering tidak kita sadari bahwa tiap-tiap anak atau individu itu berbeda. Mereka masing-masing memiliki yang namanya individual differencies . Dalam tataran yang lebih luas, orang tua dalam pengertian yang juga luas seperti mentor, guru, pembimbing, atau apapun namanya, sering juga terjebak dalam format pemaksaan, bahkan pemerkosaan terhadap hak-hak anak atau hak individu lain. Dengan dalih agar bimbingannya sukes, ia paksa mereka bekerja sesuai dengan gaya dan selera dia tanpa mempetimbangkan hasrat, psikologi, serta dunia batin anak atau indvidu lain.

Intinya dalam hal mendidik anak hendaknya para orang tua bisa lebih bijak. Memang adakalanya dalam hal mendidik disiplin kita harus keras. Yang salah ya salah, dan yang benar ya benar. Jangan sesuatu yang salah dikatakan benar atau bahkan ditutup-tutupi. Nanti anaknya menjadi peragu dan tidak tegas. Namun, di sini yang penting adalah kita mendidik anak harus sesuai dengan potensinya. Kalau potensinya hanya bisa membangun tipe rumah empat lima, ya bangun tipe empat lima, jangan dipaksakan membangun rumah tipe tujuh puluh atau tipe satu empat lima. Sebab rumah tipe empat lima juga asal penataan bagus ya bagus juga hasilnya.

Kita semua tentu ingin agar anak-anak kita menjadi luar biasa dan hebat. Namun kalau anak kita tidak memiliki kemampuan yang luar biasa, jangan didorong-dorong atau bahkan dipaksa. Terimalah diri anak apa adanya dengan ikhlas dan rela. Di dalam buku *Mimpi Anak Jadi Naga*, Joseph Landri menulis begini, “Kalau diumpamakan, misalnya anak kita adalah jenis “bebek”, terimalah sebagai bebek. Jangan dipaksa menjadi elang.” Sebab kalau dipaksa akan susahlah nantinya.

Karena itu, barangkalai tugas dan tanggung jawab orang tua dalam hal mendidik anak sebagai seorang individu terutama harus lebih menjadi fasilitator dan motivator saja. Karena itu, langkah pertama yang perlu mereka lakukan adalah menggali dan mengidentifikasi potensi dan kecerdasan anak. Kecepatan belajar anak juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan sang anak. Kerap terjadi para orang tua yang “kebelet” ingin cepat-cepat melihat hasil dan impian mereka menjadi kenyataan pada anak-anaknya. Lalu, mereka atur itu semua tanpa kompromi. Pokoknya, anak-anaknya tinggal nunut saja.

Yang lebih parah adalah perlakuan para orang tua, guru, mentor, atau apapun yang memandang anak atau asuhannya sebagai asset dan milik mereka, sehingga anak boleh diperlakukan sekehendak dan kemauan mereka. Kita juga kerap melihat para orang tua, guru, mentor, atau apapun yang seolah tidak rela melihat anaknya maju sesuai dengan kodrat alamiahnya. Orang tua jenis ini akan merasa senang dan bangga kalau anak-anaknya cuma ikut-ikutan saja. Memang kata-katanya biasa terdengar indah, “Aku senang kalau kau bisa lebih hebat bla…bla…bla…”, tapi pada dasarnya ia lebih suka kalau anak-anaknya sekadar menjadi bayang-bayang dirinya dan cuma mengekor saja.

Padahal Khalil Gibran mengatakan anak bukan milik kita, orang tua, tapi milik dirinya sendiri. Mereka laksana busur anak panah, melesat menyongsong masa depannya. So, kalau potensinya hanya menjadi bebek, ya jadikanlah dia bebek, tapi yang baik, yang produktif. “Kalau sebagai bebek sudah bisa berenang, menangkap ikan, mempunyai bulu yang bersih dan mengkilap indah warnanya, serta bisa bernyanyi kwek-kwek, hal itu sudah lebih dari cukup. Kalau dipaksakan menjadi elang, mungkin hanya akan menjadi elang yang lemah, tidak bisa terbang tinggi, dan tidak cakap menangkap mangsa. Walaupun hanya menjadi bebek, anak kita harus menjadi bebek yang unggul. Jangan hanya menjadi bebek yang bengong melulu, tidak bisa berenang, dan jangankan menangkap ikan, bernyanyi kwek-kwek saja tidak bisa” (Landri, 2007:9-30).

Jangan sampe ujung-ujungnya nasib anak-anak kita jadi bebek tidak, elang pun bukan. Yang lebih parah jangan-jangan anak kita malah menjadi “belang” alias bebek yang elang yang sudah barang tentu tidak terlalu banyak gunanya sebab ia hanya menjadi seeokor bebek lumpuh. Ya nggak? Sumber :http://www.mail-archive.com/rantaunet@googlegroups.com/msg06731.html%5Bdiakses 20Des09]

GIMANA KALAU DENGERKAN SAYA MACAPATAN.
http://www.ziddu.com/viewfile/7846055/pocung2.mp3.html

atau MENDENGARKAN SAYA NEMBANG POCUNG

19 pemikiran pada “NATIONAL EXAM WILL “BE MAKE” DUCK BECOME HAWK ?

  1. yanessipil

    waduh kasian juga anak-anak sekolah sekarang ini terbeban dengan ada atau tidaknya UN, belum mikir belajarnya eh nasib mereka “terkatung-katung” tentang ada atau tidak adanya UN taon depan, tp bagi saya pribadi UN memang harus tetap ada, karena namanya juga Ujian Nasional artinya berlaku nasional dengan tujuan untuk menyamakan kualitas pendidikan di Indonesia secara nasional, selain itu tentunya yang kita kehendaki adalah kualitas pendidikan kita lebih meningkat lagi, ya salah satu standar pengamatannya adalah UN, tetapi pemerintah juga harus memberikan kesempatan kepada anak-anak sekolah yang tidak lulus untuk mengulang ujian kembali melalui ujian ulang, ya ini hanylah pendapat pribadi saya ya pak mohon maaf apabila perbedaan pendapat, semoga kualitas pendidikan kita terus maju

  2. heeeeheeee bebek dadi elang…. kalo gua sih yang kaki empat… kambing dadi sapi…. biar rumput gajah makanannya toh kambing tetep embekkkk. hwa..hwa..hwaaa….(bingung neh…)

  3. Workshop leadersip banjarmasin:
    keberadaan aset dan produksi.. adalah suatu yg saling menyempurnakan.
    Seperti bila asetnya bebek maka produksinya adalah telur emas..
    Telur emas dihasilkan bila potensi aset bebek ditingkatkan tampa di campur beberapa elangk yang hanya menangsa bebek.

  4. itulah yang menyedihkan, mas bud. banyak orang tua yang memaksakan kehendak sesuai dengan selera dan kepentingannya. anak2 memiliki dunianya sendiri. sungguh terlalu kalau ada orang tua yang ngoto anaknya mesti jadi apa dan seperti apa.

  5. Sak jujure, aku setuju karo anane UN pak, nek:
    1. Ora dinggo nentokake lulus orane bocah.
    2. Gur dinggo penilaiane pemerintah sing meh goleh angka pembanding karo negara liya bab rata-rata pencapaian KBM/tahun.
    Satu sisi ada manpangate, bocahe dadi sumangat sinau (sing waras), satu sisi ada mudharate, terutama guru mapele biasane dadi kambing korban hitam nek ana bocah sing ora lulus 😆

  6. Tak woco ganik-ganik katon nritik kq dengaren nulis serius banget dengan bahasa yang JOSS men..jebul ngisor ono sumbere.. 😀

    Mungkin kita bisa berusaha melakukan seperti apa yang sampean tuliskan di sini namun bagaimana dengan orang tua dunia pendidikan di negri ini.
    Hmm..

  7. mengarahkan minat anak juga kelihatannya bukan pekerjaan mudah ya Pak tapi harus ditekuni. Inilah sebuah tantangan tersendiri bagi mengarahkan anak sesuai dengan kemampuannya.
    Terima kasih artikel ini mengingatkn Pak.
    Salam

  8. jd bebek pun menyimpan potensi. mau jd bebek petelur? mau jd bebek pejantan atau bebek yg menghasilkan daging? hidup adalah sebuah pilihan. guru dan orang tua sekedar menunjukkan arah ke mana pilihan tsb.

  9. jujur pak budi saya sempat di paksa menjadi sei elang tetapi sekarang saya rasa jadi bebek gemuk, bulan dan kepalanya gundul lebih baik pak dari pada jadi si elang…apa lagi bebek nya yang gemuk, bulat dan gundul serta berjenggot pula pak bisa ngeblog tambah mantaf dikit deh tuh bebek..heee

  10. Padahal Khalil Gibran mengatakan anak bukan milik kita, orang tua, tapi milik dirinya sendiri. Mereka laksana busur anak panah, melesat menyongsong masa depannya. So, kalau potensinya hanya menjadi bebek, ya jadikanlah dia bebek, tapi yang baik, yang produktif. “Kalau sebagai bebek sudah bisa berenang, menangkap ikan, mempunyai bulu yang bersih dan mengkilap indah warnanya, serta bisa bernyanyi kwek-kwek, hal itu sudah lebih dari cukup. Kalau dipaksakan menjadi elang, mungkin hanya akan menjadi elang yang lemah, tidak bisa terbang tinggi, dan tidak cakap menangkap mangsa. Walaupun hanya menjadi bebek, anak kita harus menjadi bebek yang unggul. Jangan hanya menjadi bebek yang bengong melulu, tidak bisa berenang, dan jangankan menangkap ikan, bernyanyi kwek-kwek saja tidak bisa” (Landri, 2007:9-30).
    saya suka yang bagian ini pak budi..jadi diri sendiri menurut saya lebih baik dari pada dipaksakan menjadi diri orang lain tetapi nggak asli seperti iklan yang katakan grupband Changchuter…”gaya kita nggak asli neh”
    kualitas si bebek lebih baik sebenarnya dari pada si elang.. sibebek bisa beryanyi, bisa terbang dan bisa juga cari ikan (jadi bebek berkualitas) apa lagi di tambah sekarang bebek tambah keren pak irit bensinnya juga (seperti iklan Yamaha Vega)…salam

  11. di bidang apapun, apalagi bidang pendidikan, yg namanya memaksakan kehendak sendiri, sama saja, menghasilkan yg kurang baik.
    Dengan kata lain terima lah anak kita apa adanya , tentu dgn tetap berusaha meningkatkan potensi yg ada, gitu ya Pak Guru?
    salam hangat utk keluarga.
    salam.

  12. He he he kalau bebek goreng saya suka Pak Budi ….

    ps: saya biasa jadi bebek banget … sejak sd s/d lolos kuliah …
    .
    .
    @Iksa: tapi bebek kualitas ekspor ya pak. makasih

  13. PERTAMAX !!!
    Mmmm… Pelajaran yang bagus pak bud, semoga tetap diriku tetap terjaga dalam menjaga amanah.
    .
    .
    .@tugas sampen khan memang menjaga pak…mosok awake dhewe gak terjaga

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.